Selasa, 03 September 2013

TENTANG HUKUM INDONESIA= Hukum dan Penjara Indonesia, Sebuah Kesempatan Kedua atau Ajang Penghancuran Hidup

by: http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/20/hukum-dan-penjara-indonesia-sebuah-kesempatan-kedua-atau-ajang-penghancuran-hidup-566896.html
Indonesia, sebuah Negeri yang besar dengan jumlah penduduk yang begitu padat. Berbagai ragam lika liku kehidupan manusia dapat ditemukan di sini. Mereka yang kaya di dalam rumah megah dengan mobil seharga satu nyawa mereka yang di sisi lain sedang tertidur di atas jembatan kedinginan menahan lapar berhari-hari.  Mereka yang sedang asyik membaca buku mencari pengetahuan di sebuah restoran makanan mahal seharga 6 kali makan mereka yang di sisi lain sedang mengamen di atas bus demi sesuap nasi. Dan mereka yang memiliki kekuasaan mengadili kehidupan mereka yang kehilangan arah hidup kemudian salah jalan dan berbuat kriminal.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaSk6jgafm1ySSUE8fn5MWGB-GJi0aifVguGveyb3UzTqto7yLkhQ6yLOhn_bYS1h6ktbZACFdvLIFpKE23WrMmA3IajP8d354cr-hW0Xdl6i85eeApar3mbIbR6u6RNOGSrmvmF2ONFOO/s1600/penjara.jpg
Pada 1977, Sengkon dan Karta didakwa melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Pondok Gede, Bekasi. Vonis pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta). Putusan itu dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Jawa Barat. Sejak itu, mereka meringkuk di Penjara LP Cipinang. Sewaktu Sengkon sedang sekarat karena penyakit TBC, setelah 5 tahun menghuni LP Cipinang, seorang narapidana lain bernama Gunel, merasa iba. Gunel meringkuk di penjara yang sama, karena kasus lain. Dengan jujur, dan merasa berdosa, dia meminta maaf dan mengaku kepada Sengkon. Gunel kemudian mengaku kepada pihak berwajib, bahwa dia dan teman-temannyalah yang merampok dan membunuh Sulaiman-Siti Haya, bukan Sengkon. Berdasarkan pengakuan ini, Kejaksaan Agung, mengajukan penangguhan pelaksanaan menjalani hukuman bagi Sengkon dan Karta. Tetapi hukuman sudah dijatuhkan! Akibat perlakuan yang buruk di penjara, Sengkon menderita penyakit TBC dan akhirnya meninggal. Keluarga Karta dengan seorang istri dan 12 anak kocar-kacir. Semua sawah dan tanah mereka sudah ludes terjual untuk membiayai perkara dan biaya hidup. Lebih tragis lagi, Karta mengalami musibah. Tewas tertabrak truk, tidak lama setelah bebas dari penjara[1] .

Kriminalitas bukan lagi merupakan hal yang baru di Negeri yang besar ini. Dengan panjangnya rentetan kejadian di masa lalu yang kemudian melahirkan jutaan efek bagi masyarakat Indonesia, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi banyak manusia menjadi sesuatu yang sangat mahal hingga mereka rela menghalalkan segala cara demi sesuap nasi. Kalau sudah begitu, berdasarkan norma yang berlaku, mereka yang tertangkap akan dikenai hukuman dan perlakuan yang sangat mengerikan di dalam penjara dalam batas waktu yang tidak sebentar. Menurut hukum, itulah salah satu bentuk perlindungan dari Pemerintah kepada masyarakat. Memberikan pelajaran kepada  mereka yang mengusik kehidupan yang lain.

Namun kemudian, kalau dipikir lagi menggunakan hati nurani. Apakah setelah mereka yang tertangkap itu masuk ke dalam hukuman bernama penjara Indonesia yang penuh hal mengerikan itu akan keluar dengan lembaran baru dan menjadi manusia yang lebih baik?. Atau mereka hanya akan kehilangan waktu bertahun-tahun lamanya dan kehilangan masa depan seperti halnya Sengkon dan Karta.

Apa yang sedang terjadi dengan Negeri ini? Di mana nurani para penguasa yang memegang nasib jutaan manusia di Negeri ini. Tidak adakah sedikit pun sisi kebaikan tersisa dari para kriminal Indonesia yang tertangkap akibat tindakan mereka yang dilakukan karena terpaksa itu?. Bukankah setiap manusia berhak memperoleh kesempatan kedua dalam hidup ini. Namun yang terjadi di Negeri ini, kesempatan kedua yang kemudian bisa datang tersebut malah jadi ajang penghancuran hidup.

Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, seorang pria (35 tahun) yang dituding mencuri uang sebesar Rp 15000,00 tewas ditembak polisi. Pria ini ditangkap oleh dua orang polisi di tempat kerjanya di Tlogosari, Semarang. Dibawa ke Polsek dan digelandang ke Pantai Moro, Demak. Menurut Polisi, dia berusaha melarikan diri. Dia ditembak kakinya, tapi yang terkena kepalanya. Pria ini tewas seketika! Baru ditangkap sudah ditembak mati, padahal kesalahan yang dituduhkan hanya mencuri uang Rp 15000,00 Astaghfirullahhal’adzim![2]

Setiap manusia memiliki kesalahan dalam hidup. Tak ada satupun manusia di dunia ini luput dari yang namanya kesalahan. Hal ini harusnya menjadi perhatian bagi para penguasa yang menciptakan sistem penghukuman dan perlindungan bagi masyarakat Indonesia untuk melihat bangsa ini sebagai manusia yang memiliki serba kekurangan di sana sini dengan kondisi yang bahkan tak jarang menuntut mereka melakukan tindak kriminal. Dengan merubah kondisi penjara Negeri ini yang bagaikan neraka menjadi sebuah rumah nyaman dengan dipenuhi media pembelajaran agar mereka yang tersangkut kasus kriminal mampu belajar menjadi manusia yang lebih baik merupakan solusi terbaik.

Tidak semua manusia yang terjerat tindak kriminial sepenuhnya makhluk yang sangat kejam. Beberapa di antara mereka bahkan memiliki keluarga dan anak-anak yang masih harus dipenuhi kebutuhannya. Bertahun-tahun mereka harus dikurung di dalam penjara dengan perlakuan yang sangat mengerikan tanpa mampu berbuat apa-apa hanya akan menghancurkan hidup dan masa depan mereka. karena setiap kali manusia berbuat kesalahan, mereka seharusnya berhak memperoleh kesempatan kedua, bukannya malah dihakimi habis-habisan hingga hancur masa depannya. Inilah salah satu koreksi besar bagi bangsa ini, betapa kejam dan egoisnya bangsa ini yang begitu sulitnya memberikan maaf bagi para kriminal yang belum tentu melakukan tindakan jahat dengan sengaja tanpa ada alasan yang memaksa mereka harus berbuat demikian.  Bahkan jika kelak di kemudian hari lahir Sengkon dan Karta berikutnya, tak dapat dibayangkan betapa besar dosa bangsa ini pada kehidupan manusia.

[1] Roesli, Rully. 2012, Playing God. PT Mizan Pustaka ; Bandung. Hal 65

[2] Harian Media Indonesia terbitan 1 April 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar