by: http://www.gaulislam.com/ngapain-sih-kudu-dugem edisi 081/tahun ke-2 (16 Jumadil Awal 1430 H/11 Mei 2009)
Kamu tahu kan istilah dugem? Hehehe.. bukan dunia gembel atau duduk gembira, tapi ini akronim dari dunia gemerlap. Lho, memangnya ada ya dunia yang suram? Ah, kamu pura-pura nggak tahu deh. Ya, iyalah, kalo ada siang berarti ada malam, kalo ada cowok, berarti pasangannya cewek, kalo ada hujan berhadapannya dengan kemarau. Begitupun dengan dunia gemerlap, berarti berlawanan dengan dunia suram.
Kalo dunia gemerlap orang sepakat menyebut dunia yang penuh hura-hura, suka-suka, seneng-seneng, dan serba mudah dengan apa yang kita pengen, maka dunia suram adalah dunia yang udah bisa hidup aja untung, sehari bisa makan pun sudah alhamdulillah, pengen hiburan cukup nonton tivi tetangga atau di pos ronda, mau selimut cukup sarung kumal, mau rokok juga joinan ama temen, mau minum kopi segelas bertiga. Ya, orang sepakat “menggelari” kehidupan seperti ini dengan madesu alias masa depan suram atau dusur alias dunia suram. Lawannya tentu saja dugem, dunia gemerlap.
Bro en Sis, istilah dugem tuh sebenarnya digunakan buat ajang suka-suka, hura-hura, hamburin banyak duit. Pesertanya nggak perlu juga orang kaya, adakalanya peserta dugem adalah mereka yang dari segi ekonomi pas-pasan atau bahkan kurang mampu. Tapi ketolong sama temennya yang tajir dan seneng gaul, akhirnya jadi deh ikutan ditraktir biar bisa dugem bersama. Bagi mereka biar tekor asal nyohor. Halah, cemen banget niatnya ya?
Tapi umumnya sih mereka yang suka dugem emang dasarnya udah tajir dari segi ekonomi. Nggak kesulitan kalo soal makan. Justru yang model gini hanya kesulitan untuk nyari tempat makan yang pas dan enak menurut selera mereka. Banyak orang Jakarta makan siangnya di Bogor atau di Bandung demi mencari kepuasan selera makan. Maklumlah, jarak Jakarta-Bogor kalo lewat tol dan memacu kendaraannya rata-rata 100 km per jam nggak nyampe setengah jam udah nyampe. Tentu aja nyarinya juga yang dekat ke gerbang tol. Kalo di Bogor udah disediain tuh tempat mangkal yang pas di sepanjang Jalan Pajajaran. Kalo ke Bandung? Bukan halangan juga, wong lewat Cipularang cuma 2 jam perjalanan. Kadang nggak nyampe kalo memacu kendaraannya dengan gaya Felipe Massa. Oya, tentu yang bisa gituan pastinya para eksekutif muda atau sejenisnya. Bukan eksekusut muda hehehe…
Okelah, itu kan ngomongin para eksekutif muda yang duitnya kayak ngambil dari pohon. Kalo remaja ada nggak yang suka dugem? Ada aja. Buktinya caf?-caf? tertentu ramai pengunjungya. Ada juga anak muda seumuran kamu yang di SMA atau paling banter anak kuliahan. Maklumlah, pelajar dan mahasiswa juga manusia, punya keinginan untuk suka-suka, senang-senang, hura-hura dan jaga gengsi dengan nongkrong di tempat makan atau tempat gaul yang bikin gengsi melambung. Kalo cuma makan di tempat nasi uduk biasa atau bubur ayam yang dijual keliling pake gerobak dan kita ngetem ama temen-temen di pos ronda itu sih kebangetan karena bikin nilai gengsi kita melorot.
Sobat muda muslim, bukan soal jajanan, makanan, atau tempat nongkrong yang enak dibuat dugem, tapi dugem bisa juga soal dandanan dan gadget yang bisa nunjukkin diri ke orang-orang bahwa, “gue anak gaul, gue biasa dugem, lihat dong pakaian dan gadget gue”. Gitu kira-kira.
Maka, di tengah kemajuan jaman saat ini, kita bisa memoles penampilan diri, bisa menjual diri kita di hadapan orang lain. Lihatlah, sarana informasi untuk itu udah banyak, kamu bisa gabung di situs jejaring sosial, bikin blog yang udah disediain secara gratis, bikin website, aktif di komunitas dunia maya, aktif di klub pencinta motor modif, penggemar sepeda tua, penggemar mobil tua, dan banyak ragamnya yang lain. Kamu bisa nunjukkin eksistensi kamu di sana. Ya, selama kegiatanya bermanfaat dan tidak melanggar hukum syara silakan saja.
Cuma emang nggak berhenti di situ. Namanya juga ajang kumpul-kumpul bareng teman, apalagi satu sama lain saling pamer apa yang dimilikinya, bukan tak mungkin kalo akhirnya jadi berubah sebagai ajang lomba nunjukkin eksistensi diri yang berlebihan. Jangankan di komunitas yang masih umum sekadar menyalurkan hobi, di komunitas anak ngaji aja adakalanya pamer ilmu pengetahuan dan kualitas akhlak. Selama untuk saling memotivasi diri, nggak ada salahnya. Tapi mohon maaf aja ya, kita masih khawatir kalo akhirnya terjerumus ke dalam riya’ atau malah kebablasan jadi pamer harta demi identitas diri agar bisa eksis di komunitas gaul kita. Bukan tak mungkin kalo akhirnya dugem juga deh.
So, bagi kita, barangkali punya HP aja udah seneng bukan kepalang. Dengan begitu, komunikasi jadi lancar. Apalagi kalo kita orangnya mobile banget. Cocok. Tapi nggak bagi teman-teman kita yang ngakunya remaja dugem. Bagi mereka, fungsi saja nggak cukup. Selain bisa dipake ngobrol ngalor-ngidul, HP kudu gaul dan menghibur. Coba aja, hampir tiap bulan produk teknologi komunikasi ini perkembangannya melompat-lompat. Kita-kita mah nggak bisa ngikutin deh. Maksudnya, nggak tahan. Baru liat model yang menurut kita udah hebat, eh, bulan berikutnya udah ganti lagi dengan fitur-fiturnya yang mengoda. Jadi nggak beli-beli deh. Selain bingung milih, duitnya kagak ada, Mas. Idih?
Bisa kebayangkan, kalo tiap bulan muncul produk HP baru, itu makin bikin remaja dugem tergoda pengen gonta-ganti ponsel hingga akhirnya kudu bolak-balik ke warteg (baca: warung telepon genggam). Begitulah gaya mereka. Hmm.. apa nggak boros tuh?
Dugem juga ada klasifikasinya
Dugem alias dunia gemerlap adalah gaya hidup yang menuntut serba keren, cool, trendi dan mewah. Para pegiat dugem ini berusaha abis-abisan untuk tampil prima, khususnya di depan orang lain. Mulai dari bacaan, makanan, busana, tontonan sampai tongkrongan. Kalo bacaan biasanya majalah-majalah yang banyak memuat soal mode, gosip artis en tips bergaul dengan sesama dugemer (aktivis dugem). Ini penting, soalnya kalau seorang remaja dugem ketinggalan berita maka bakalan terlempar dari arena pergaulan para dugemer. Biasanya, yang diobrolin seputar tempat nongkrong yang baru en asyik punya (nggak termasuk WC umum, lho), gosip artis, film bioskop macam ‘Terminator Salvation’ versi teranyar dari ‘Terminator’ atau film sekuelnya The Da Vinci Code, ‘Angels and Demons’, kalau olahraga pastinya sepak bola – apalagi menjelang Final Liga Champion Eropa yang mempertemukan Manchester United, tim dengan pertahanan terkokoh sepanjang musim ini dengan Barcelona, tim dengan strategi menyerang dan tersubur musim ini–, NBA atau balapan F1 dan MotoGP. Canggihan dikit mereka bicara soal internet atau handphone keluaran paling anyar. Ngobrolnya bisa di rumah temen yang kagak bikin boring atawa bete, atau kalau lagi tajir bisa juga di caf?. Kalau di masjid kayaknya sih nggak deh, mungkin takut kualat. Hahaha…
Aha.. saya jadi inget tulisan saya jaman dulu di Majalah PERMATA, di situ saya tulis bahwa remaja dugem juga kenal klasifikasi alias pembagian golongan. Setidaknya itu yang disurvei oleh Surindo, satu badan survey nasional. Sekurangnya ada delapan segmen psikografis remaja di perkotaan, yang masing-masing mereka diberi nama (1) Remaja funky (15%), Remaja Be-Te (11,7%), Remaja Asal (8,6%), Remaja Plin-Plan (22,7%), Remaja Boring (16,8%), Remaja Ngirit (14,8%), dan Remaja Cool (10,3%). Nah, lho banyak amat klasifikasinya ya?
Dalam surveinya Surindo menyebutkan kalau sebagian segmen ini kelihatan memberi harapan. Ada kelompok remaja yang sangat berhati-hati dalam berbelanja, tak mudah tertipu, mencari informasi sebelum membeli, terencana kritis, punya rasa percaya diri, dan punya perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Tapi, sebagian lagi terlihat cemas, ragu-ragu, tak konsisten, tak punya rencana masa depan, bahkan tak percaya orang lain sehingga tak membuka diri atau berorganisasi. Wajar kalau dalam berbelanja mereka sering tertipu (ini tipikal remaja bete).
Bahkan ada yang percaya dirinya rendah, tapi gengsinya tinggi sekali (Remaja Asal). Ada lagi yang plin-plan, pas lagi ngetren lagunya Wali terbaru, “Cari Jodoh” ikut beli kasetnya (kalo nggak kebeli ya download gratisan di internet atau copy MP3 dari komputer teman), Korn bikin lagu baru eh ikutan nembang Blind biar kelihatan gaul. Eh, Ridho Rhoma dan Sonet 2 Band ngetop dengan Menunggu, ikutan juga goyang sambil nyanyi: “Derita?hidup?yang?kualami/ Duhai?pahit?sekali/ Pada?siapa?aku?berbagi/ Kalau?bukan?padamu/ Datanglah,?kedatanganmu?kutunggu/ Telah?lama,?telah?lama?’ku?menunggu”. Dasar plin-plan!
Nah, kamu masuk klasifikasi yang mana? Moga-moga masuk kelompok yang kesembilan alias golongan RRI, Remaja Rajin Ibadah atau golongan Botak alias Bocah Takwa (hehehe..maksain banget nggak sih?)
Bikin kantong bolong
Apa sih bahayanya dugem? Yang jelas biaya hidup untuk jadi remaja dugem itu nggak kecil. Sebaliknya, justru dengan maraknya gaya hidup dugem ini, udah berapa juta uang melayang percuam. Ujungnya memang menciptakan remaja-remaja borju. Menciptakan rasa persaingan di antara mereka dengan persaingan yang nggak pada tempatnya. Iya dong. Sebab, mereka berlomba dalam dunia gemerlap. Apa nggak puas dengan apa yang dimiliki selama ini? Sehingga kudu berlomba ngadain pesta ultah di diskotik, di hotel berbintang. Atau sekadar gonta-ganti HP dengan yang highend biar bisa main facebook-an dari ponsel, bawa mobil keluaran terbaru. Hmm… itu semua harus ditukar dengan uang. Bukan daun. Sekali lagi uang. Bener-bener bikin kantong bolong deh.
Bisa kamu bayangkan, jika untuk tampil dugem, seorang remaja kudu mengeluarkan uang rata-rata 300 ribu perak seminggu. Sebulan udah 1,2 jute rupiah tuh duit menyublim untuk dugem. Kira-kira, berapa penghasilan ortunya? Atau kalo nggak punya, udah ngutang berapa tuh sama temennya? Duh, sayang banget uang segitu banyaknya cuma dipake untuk hura-hura. Coba kalo diinfakkan ke masjid atau shadaqah ke fakir miskin, udah jelas pahalanya.
Bro en Sis, fenomena ini bikin miris kita. Terus terang aja kita prihatin dan merasa kasihan sama teman-teman kita yang udah terlanjur jadi aktivis dugem. Kita khawatir, kalo nanti ada banyak remaja yang perutnya udah nggak bisa lagi menerima makanan murah, karena kebanyakan diisi makanan mahal baik produk lokal maupun produk bule, apalagi yang masih belum jelas halal-haramnya. Gawat!
So, nyata banget dugem emang bikin kantong bolong. Yup, dugem telah menciptakan remaja-remaja yang boros dan nggak menghargai rizki yang selama ini diberikan kepadanya dari Allah Swt. Kasihan banget ya?
Bikin keras hati
Kebanyakan main bareng teman yang sok gengsi dan doyan hura-hura hamburin duit, kudu hati-hati. Bisa-bisa kita jadi ikutan gaya hidupnya. Namanya juga gengsi yang diprioritaskan, nggak heran dong kalo yang dilihat selalu masalah gaya, alias penampilan. Dan untuk itu, uang yang bicara dong. Uang dan uang. Ujungnya, kita bisa jadi nggak peduli sama tetangga kanan-kiri. Tetangga sebelah kanan kita menjerit kelaparan, kita asyik dengan makanan mahal dan doyan nonton konser musik yang karcisnya untuk sekali masuk bisa mencapai harga 100 mangkuk bakso (kalo satu mangkuk bakso harganya Rp 5000, udah ketahuan berapa tuh harga karcis). Hmm… itu hanya untuk memenuhi nafsu dugem kamu aja.
Itu artinya kamu udah punya hati sekeras batu. Kamu nggak gampang terenyuh dengan penderitaan teman or tetangga kamu. Kamu masih bisa tertawa di atas penderitaan orang lain. Minimal, cuek. Sikap kayak gitu pun udah jelek banget. Iya nggak sih?
Sobat muda muslim, terus terang kita nggak abis pikir. Coba aja bayangin, waktu tanggul Situ Gintung jebol, itu kan pas lagi rame-ramenya kampanye parpol menjelang pemilu dan konser-konser musik banyak digelar, serta film-film terbaru di bioskop jadi inceran. Coba deh, warga Situ Gintung yang kena ‘tsunami kecil’ nunggu antrian untuk ditolong, eh, sebagian yang lain, dari kita-kita ini, malah rebutan dan rela antri hanya untuk dapetin karcis bioskop 21 atau tiket konser dan ikutan pesta kampanye parpol.
Apakah rasa peduli kita udah pudar ditelan jaman? Apa iya kita tega menyaksikan saudara-saudara kita yang lagi menderita? Rasanya, jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, mungkin masih tersisa setitik perasaan iba kita. Namun perasaan itu nyaris tak bisa terdeteksi, karena kalah dengan gaya hidup dugem yang emang udah nguasai dirimu. Padahal, dalam se uah riwayat dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.”(HR at-Tabrani)
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ternyata, gegar budaya yang sala satunya muncul ‘tradisi’ dugem, bikin kita jadi cuek dengan sesama, dan doyan hura-hura. Udah gitu, karakter budaya populer yang memang bergerak begitu cepat, sangat cepatnya, sampai-sampai tanpa sadar kita diminta dengan ikhlas (baca:dipaksa) tunduk dengan logic of capital, logika proses produksi di mana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku. Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu trek lebih tinggi memang tidak memiliki kesempatan untuk renungan-renungan yang mendalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli. Nah, lho.
Nah, teman-teman. Apakah kita mau mengorbankan hati nurani, keimanan dan ukhuwah kita hanya untuk mengikuti gaya hidup yang gemerlap tanpa juntrungan, apalagi melanggar syariat? Sayang banget hidup ini hanya disia-siakan. [solihin: osolihin@gaulislam.com]