by: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/01/10/fitnah-di-infotainment-524134.html
Beragam acara di televisi tersaji tanpa henti sejak pagi hingga pagi hari. Mereka hadir tanpa bisa dibatasi dan ada kalanya acaranya memang baik namun banyak yang sebaiknya dihindari. Bagi para orang tua pekerja, seringkali kesulitan menjaga anaknya dari pengaruh televisi. Pengaruh itu tidak saja dari tayangan sinetron, berita kriminal bahkan film anakpun banyak yang tidak sesuai.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai lembaga pengawas media penyiaran sudah berulang kali memberikan teguran pada berbagai televisi serta acara yang tidak sesuai. Namun hingga kini masih saja produser acara tidak belajar dari peringatan KPI. Seolah-olah, mereka bisa memproduksi acara semaunya di era sekarang ini.
Saya tidak cukup tahu apakah di dalam pikiran mereka juga sampai meraba-raba dampaknya? Pun demikian juga dengan membully yang akhir-akhir ini marak dikampanyekan anti bully terutama bagi anak-anak yang dampaknya mengancam mental anak dikemudian hari. Banyak sekali acara sinetron yang terkesan diperuntukkan anak-anak tetapi hampir tidak membawa pesan moral.
Kami sekeluarga memang bersepakat menghindari acara demikian karena mencari sisi positifnya terlalu rumit tetapi sisi negatifnya selalu terang-terangan. Kalau toh dibatasi, acara lain yang juga digemari remaja ya infotainment sebab mereka pengen tahu berita selebritas yang mereka kagumi. Infotainment ini juga berjumlah puluhan di televisi swasta kita.
Mulai pagi hingga sore hari. Sayangnya, masih banyak narasi pembawaan berita yang sumber berita tidak jelas. Kata-kata “tersiar kabar”, “benarkah”, “berhembus kabar” dan beragam kata lain yang tidak disebutkan sumbernya. Bukankah tanpa menyebut sumber menjadi cenderung fitnah? Dari dulu begitu dan tidak ada tindakan atau mungkin mereka bebal? Nah kalau si artis tidak terima dan mencak-mencak, malah dianggap menguntungkan bagi para reporter ini.
Dulu sempat akan ada penertiban wartawan infotainment karena dianggap dalam memberitakan sesuatu tidak cover both side namun entah bagaimana perkembangannya. Bila sekarang tiap wartawan harus lulus uji kompetensi, saya tidak tahu apakah para wartawan infotainment juga diharuskan apa tidak. Maklum bukan wartawan sehingga tidak tahu perkembangan.
Organisasi wartawan semacam PWI, AJI, IJTI dan sebagainya perlu mendorong para reporter infotainment ini menempuh uji kompetensi. Agar kedepan berita yang dihasilkan bisa kredibel dan tidak cenderung menjurus ke fitnah. Para pemilik televisi juga semestinya menyadari tentang hal ini supaya acara-acara yang dihasilkan mampu mendorong perkembangan yang positif. Bukan mengajari pitnah… sekali lagi pitnah (pake pe)…
Beragam acara di televisi tersaji tanpa henti sejak pagi hingga pagi hari. Mereka hadir tanpa bisa dibatasi dan ada kalanya acaranya memang baik namun banyak yang sebaiknya dihindari. Bagi para orang tua pekerja, seringkali kesulitan menjaga anaknya dari pengaruh televisi. Pengaruh itu tidak saja dari tayangan sinetron, berita kriminal bahkan film anakpun banyak yang tidak sesuai.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai lembaga pengawas media penyiaran sudah berulang kali memberikan teguran pada berbagai televisi serta acara yang tidak sesuai. Namun hingga kini masih saja produser acara tidak belajar dari peringatan KPI. Seolah-olah, mereka bisa memproduksi acara semaunya di era sekarang ini.
Saya tidak cukup tahu apakah di dalam pikiran mereka juga sampai meraba-raba dampaknya? Pun demikian juga dengan membully yang akhir-akhir ini marak dikampanyekan anti bully terutama bagi anak-anak yang dampaknya mengancam mental anak dikemudian hari. Banyak sekali acara sinetron yang terkesan diperuntukkan anak-anak tetapi hampir tidak membawa pesan moral.
Kami sekeluarga memang bersepakat menghindari acara demikian karena mencari sisi positifnya terlalu rumit tetapi sisi negatifnya selalu terang-terangan. Kalau toh dibatasi, acara lain yang juga digemari remaja ya infotainment sebab mereka pengen tahu berita selebritas yang mereka kagumi. Infotainment ini juga berjumlah puluhan di televisi swasta kita.
Mulai pagi hingga sore hari. Sayangnya, masih banyak narasi pembawaan berita yang sumber berita tidak jelas. Kata-kata “tersiar kabar”, “benarkah”, “berhembus kabar” dan beragam kata lain yang tidak disebutkan sumbernya. Bukankah tanpa menyebut sumber menjadi cenderung fitnah? Dari dulu begitu dan tidak ada tindakan atau mungkin mereka bebal? Nah kalau si artis tidak terima dan mencak-mencak, malah dianggap menguntungkan bagi para reporter ini.
Dulu sempat akan ada penertiban wartawan infotainment karena dianggap dalam memberitakan sesuatu tidak cover both side namun entah bagaimana perkembangannya. Bila sekarang tiap wartawan harus lulus uji kompetensi, saya tidak tahu apakah para wartawan infotainment juga diharuskan apa tidak. Maklum bukan wartawan sehingga tidak tahu perkembangan.
Organisasi wartawan semacam PWI, AJI, IJTI dan sebagainya perlu mendorong para reporter infotainment ini menempuh uji kompetensi. Agar kedepan berita yang dihasilkan bisa kredibel dan tidak cenderung menjurus ke fitnah. Para pemilik televisi juga semestinya menyadari tentang hal ini supaya acara-acara yang dihasilkan mampu mendorong perkembangan yang positif. Bukan mengajari pitnah… sekali lagi pitnah (pake pe)…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar